Saya cuma ingin mencurahkan isi hati dengan
menulis ini. Saat saya menulis ini, saya tahu seharusnya waktu yang saya
gunakan untuk membuat narasi singkat ini dapat saya gunakan untuk membuat
laporan atau belajar untuk UTS minggu depan.
Tapi sekarang saya sedang merasa bahagia.
Sangat bahagia dan bangga.
Semua ini berawal dari beberapa hari yang
lalu, entah berapa hari, sudah lupa tepatnya. Saya, seperti biasa, membuat
laporan yang menggunung terus-terusan. Lalu saya menyadari suatu tren di
internet hari itu. Entah mengapa, berita soal paus sedang tren... Mengapa? pikir
saya. Apakah mendadak orang-orang menjadi sangat religius?
Ternyata tidak. Ternyata ‘tren paus’ itu
terjadi karena Benediktus XVI mengumumkan bahwa beliau memutuskan untuk...
mundur.
Sebagai salah satu umat Katolik, saya
merasa shock. Lalu marah. Saya merasa ditinggalkan... Mengapa justru sekarang,
di masa ketika Gereja mempersiapkan diri untuk berpaskah beliau justru mundur?
Bagaimana nanti jika saat Paskah tiba paus baru belum terpilih? Akankah kami
berpaskah tanpa paus? Sudah tidak beruskup, tidak berpaus...
Tetapi setelah membaca berita, saya sadar.
Beliau justru sudah bersikap gentleman
dan membuktikan bahwa dirinya tidak haus kekuasaan. Beliau sadar bahwa dirinya
tidak cukup mampu untuk membereskan masalah Gereja yang memang sudah menggurita
dan mengakar. Dan semua perasaan negatif itu, malahan menjadi rasa hormat...
Apalagi beliau membuktikan, setelah mundur dan menjadi Paus Emeritus, beliau
tidak merecoki paus yang baru, tapi ini cerita berikutnya.
Begitulah. Di saat teman-teman memusingkan
tugas kuliah sampai tidak sempat menyentuh media sosial, saya setia mengikuti
berita lewat koran dan televisi. Ada perasaan tidak sabar menanti dimulainya
konklaf. Tidak sabar! Apalagi yang ditunggu. Di masa modern ini, dengan
teknologi luar biasa, semua kardinal elektor seharusnya dapat mencapai Vatikan dengan
cepat... Apalagi Benediktus XVI juga
sudah merestui dan mendorong percepatan permulaan konklaf...
Ada juga perasaan kecewa karena satu-satunya kardinal elektor dari Indonesia, Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ, tidak dapat mengikuti konklaf karena kondisi kesehatan yang tidak mendukung...
Ketika semua kardinal elektor (115 orang)
telah berkumpul, saya deg-degan dan cemas. Saya sungguh berharap konklaf akan
cepat selesai dan menghasilkan tokoh yang memang sesuai untuk memimpin Gereja
sekarang... Nakhoda yang sesuai untuk bahtera besar yang sedang mengembara
sekarang ini.
Hari pertama, putaran pertama, asap hitam.
Saya berangkat kuliah sambil tetap menanti-nanti, terus berharap. Supaya batin
115 orang yang terkunci di balik pintu itu benar-benar diterangi Roh Kudus,
agar yang terpilih benar-benar orang yang layak dan mampu.
Kamis subuh sebelum UTS fismik, saya masih
baca-baca fismik... Otak sudah isinya pathway...
Dan tiba-tiba adik saya keluar kamar. Sambil setengah teler (maklum baru bangun)
adik saya berkata, “Habemus papam.”
Respon spontan saya adalah, “Hah, ngaco!
Belum kan?”
Dan adik saya bilang, “Sudah terpilih,
tahu. Dari Argentina.”
Wow, dari Argentina? Pertama-tama, saya
merasa was-was... Imam Amerika Latin, apakah dia punya latar belakang yang
bersih? Saya masih ingat kasus Fernando Lugo dulu! Apakah dia orang yang baik?
Apakah dia mampu dan sanggup memimpin kami?
Lalu saya memeriksa latar belakangnya yang
lain... Beliau seorang Jesuit! Dan ternyata, dalam sejarah Gereja yang panjang,
baru kali ini seorang Jesuit mengisi takhta kepausan... Saya langsung merasa
bangga, karena entah mengapa saya selalu kagum pada imam Jesuit. Imam Jesuit
rata-rata pandai, pikirannya dalam, serta militan (tegas, bukan fanatis buta).
Dan dia adalah paus dari tanah misi di luar
Eropa... Sebenarnya ini menimbulkan perasaan yang ambivalen di hati saya...
Apakah Gereja di Eropa sudah semati dan selayu itu sehingga tak ada lagi yang
bisa datang dari sana? Tetapi hal ini juga menunjukkan adanya harapan baru...
Bahwa benih yang dulu disemai di tanah misi ternyata tumbuh dan berkembang.
Dan kata-kata pertamanya setelah terpilih
membuat saya (lagi-lagi) bangga...
"You know
that the duty of the conclave was to give a bishop to Rome. It seems that my
brother cardinals went almost to the end of the world to get him.” – Paus
Fransiskus I
Menurut saya ini adalah sindiran tentang
keringnya panggilan di Eropa... Ini berarti beliau familier akan masalah Gereja
di masa kini, dan mampu menyampaikan sindiran ini dengan halus, terselubung,
namun disadari dan dapat menyentak orang yang mendengarnya (or is it just me?
:3)
Saya sangat ingin tahu nama jabatan apa yang paus
berikut akan pilih. Dan ternyata, pilihan namanya pun bijaksana. Dengan pilihan
nama Fransiskus, beliau menghormati dua santo sekaligus, yaitu Fransiskus
Assisi dan Fransiskus Xaverius walaupun beliau menyatakan nama Fransiskus yang
beliau pilih adalah Fransiskus Assisi. Fransiskus Assisi adalah santo yang
terkenal karena kesederhanaan dan kedekatannya dengan kaum papa, sementara
Fransiskus Xaverius adalah pendiri ordo tempat beliau berasal, Serikat Jesuit.
Dan berita-berita yang sekarang tersebar tentang
kesederhanaannya, membuat saya semakin bangga memiliki Bapa Suci seperti dia.
Euforia ini masih menyala di hati saya. Semoga kebanggaan ini akan terus awet
dan Anda dapat memenuhi harapan umat Katolik sekarang, Paus Fransiskus. Semoga
Anda dapat memimpin Gereja dengan benar-benar diterangi dan diinspirasi Roh
Kudus. Jangan ada cela yang mencoreng namamu maupun Gereja di masa pimpinanmu
yang sekarang sedang dan akan berjalan ini. Habemus papam Franciscum!
Proficiat, Gereja, karena kini engkau telah memiliki gembala kembali.
oleh: Dyah Candra
Hapsari Subagyo
karena sedang
ingin berbagi euforia :3
buat yang membaca ini, mungkin ada yang merasa saya lebay, atau apalah...
tapi rasanya sekarang sedang senang sekali :3