Friday, 15 March 2013

Happiness Sharing :3


Saya cuma ingin mencurahkan isi hati dengan menulis ini. Saat saya menulis ini, saya tahu seharusnya waktu yang saya gunakan untuk membuat narasi singkat ini dapat saya gunakan untuk membuat laporan atau belajar untuk UTS minggu depan.

Tapi sekarang saya sedang merasa bahagia. Sangat bahagia dan bangga.
Semua ini berawal dari beberapa hari yang lalu, entah berapa hari, sudah lupa tepatnya. Saya, seperti biasa, membuat laporan yang menggunung terus-terusan. Lalu saya menyadari suatu tren di internet hari itu. Entah mengapa, berita soal paus sedang tren... Mengapa? pikir saya. Apakah mendadak orang-orang menjadi sangat religius?

Ternyata tidak. Ternyata ‘tren paus’ itu terjadi karena Benediktus XVI mengumumkan bahwa beliau memutuskan untuk... mundur.

Sebagai salah satu umat Katolik, saya merasa shock. Lalu marah. Saya merasa ditinggalkan... Mengapa justru sekarang, di masa ketika Gereja mempersiapkan diri untuk berpaskah beliau justru mundur? Bagaimana nanti jika saat Paskah tiba paus baru belum terpilih? Akankah kami berpaskah tanpa paus? Sudah tidak beruskup, tidak berpaus...
Tetapi setelah membaca berita, saya sadar. Beliau justru sudah bersikap gentleman dan membuktikan bahwa dirinya tidak haus kekuasaan. Beliau sadar bahwa dirinya tidak cukup mampu untuk membereskan masalah Gereja yang memang sudah menggurita dan mengakar. Dan semua perasaan negatif itu, malahan menjadi rasa hormat... Apalagi beliau membuktikan, setelah mundur dan menjadi Paus Emeritus, beliau tidak merecoki paus yang baru, tapi ini cerita berikutnya.

Begitulah. Di saat teman-teman memusingkan tugas kuliah sampai tidak sempat menyentuh media sosial, saya setia mengikuti berita lewat koran dan televisi. Ada perasaan tidak sabar menanti dimulainya konklaf. Tidak sabar! Apalagi yang ditunggu. Di masa modern ini, dengan teknologi luar biasa, semua kardinal elektor  seharusnya dapat mencapai Vatikan dengan cepat...  Apalagi Benediktus XVI juga sudah merestui dan mendorong percepatan permulaan konklaf...

Ada juga perasaan kecewa karena satu-satunya kardinal elektor dari Indonesia, Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ, tidak dapat mengikuti konklaf karena kondisi kesehatan yang tidak mendukung...

Ketika semua kardinal elektor (115 orang) telah berkumpul, saya deg-degan dan cemas. Saya sungguh berharap konklaf akan cepat selesai dan menghasilkan tokoh yang memang sesuai untuk memimpin Gereja sekarang... Nakhoda yang sesuai untuk bahtera besar yang sedang mengembara sekarang ini.

Hari pertama, putaran pertama, asap hitam. Saya berangkat kuliah sambil tetap menanti-nanti, terus berharap. Supaya batin 115 orang yang terkunci di balik pintu itu benar-benar diterangi Roh Kudus, agar yang terpilih benar-benar orang yang layak dan mampu.
Kamis subuh sebelum UTS fismik, saya masih baca-baca fismik... Otak sudah isinya pathway... Dan tiba-tiba adik saya keluar kamar. Sambil setengah teler (maklum baru bangun) adik saya berkata, “Habemus papam.”

Respon spontan saya adalah, “Hah, ngaco! Belum kan?”

Dan adik saya bilang, “Sudah terpilih, tahu. Dari Argentina.”

Wow, dari Argentina? Pertama-tama, saya merasa was-was... Imam Amerika Latin, apakah dia punya latar belakang yang bersih? Saya masih ingat kasus Fernando Lugo dulu! Apakah dia orang yang baik? Apakah dia mampu dan sanggup memimpin kami?

Lalu saya memeriksa latar belakangnya yang lain... Beliau seorang Jesuit! Dan ternyata, dalam sejarah Gereja yang panjang, baru kali ini seorang Jesuit mengisi takhta kepausan... Saya langsung merasa bangga, karena entah mengapa saya selalu kagum pada imam Jesuit. Imam Jesuit rata-rata pandai, pikirannya dalam, serta militan (tegas, bukan fanatis buta).
Dan dia adalah paus dari tanah misi di luar Eropa... Sebenarnya ini menimbulkan perasaan yang ambivalen di hati saya... Apakah Gereja di Eropa sudah semati dan selayu itu sehingga tak ada lagi yang bisa datang dari sana? Tetapi hal ini juga menunjukkan adanya harapan baru... Bahwa benih yang dulu disemai di tanah misi ternyata tumbuh dan berkembang.

Dan kata-kata pertamanya setelah terpilih membuat saya (lagi-lagi) bangga...

"You know that the duty of the conclave was to give a bishop to Rome. It seems that my brother cardinals went almost to the end of the world to get him.” – Paus Fransiskus I

Menurut saya ini adalah sindiran tentang keringnya panggilan di Eropa... Ini berarti beliau familier akan masalah Gereja di masa kini, dan mampu menyampaikan sindiran ini dengan halus, terselubung, namun disadari dan dapat menyentak orang yang mendengarnya (or is it just me? :3)

Saya sangat ingin tahu nama jabatan apa yang paus berikut akan pilih. Dan ternyata, pilihan namanya pun bijaksana. Dengan pilihan nama Fransiskus, beliau menghormati dua santo sekaligus, yaitu Fransiskus Assisi dan Fransiskus Xaverius walaupun beliau menyatakan nama Fransiskus yang beliau pilih adalah Fransiskus Assisi. Fransiskus Assisi adalah santo yang terkenal karena kesederhanaan dan kedekatannya dengan kaum papa, sementara Fransiskus Xaverius adalah pendiri ordo tempat beliau berasal, Serikat Jesuit.

Dan berita-berita yang sekarang tersebar tentang kesederhanaannya, membuat saya semakin bangga memiliki Bapa Suci seperti dia. Euforia ini masih menyala di hati saya. Semoga kebanggaan ini akan terus awet dan Anda dapat memenuhi harapan umat Katolik sekarang, Paus Fransiskus. Semoga Anda dapat memimpin Gereja dengan benar-benar diterangi dan diinspirasi Roh Kudus. Jangan ada cela yang mencoreng namamu maupun Gereja di masa pimpinanmu yang sekarang sedang dan akan berjalan ini. Habemus papam Franciscum! Proficiat, Gereja, karena kini engkau telah memiliki gembala kembali.


oleh: Dyah Candra Hapsari Subagyo
karena sedang ingin berbagi euforia :3
buat yang membaca ini, mungkin ada yang merasa saya lebay, atau apalah...
tapi rasanya sekarang sedang senang sekali :3

Saturday, 26 January 2013

Another Giveaway!

This giveaway is hosted at The Book Slayer (nice banner, btw). It will end in 33 days, so let's try our luck!

Giveaway

This giveaway is hosted at Proserpine Craving Books. It will end in 6 days, so hurry!


ProserpineCravingBooks_Button2

Giveaway

This giveaway is hosted by Bookaholics book club. This giveaway will expire in 19 days after this post.

Thursday, 24 January 2013

The Habitation of the Blessed

Title:  The Habitation of the Blessed
Series/ standalone?: first book in A Dirge for Preter John series
Author: Catherynne M. Valente

WARNING: This review is heavily-ridden with spoilers. Beware!



I just finished reading A Dirge for Prester John: The Habitation of the Blessed. This is the first book in the (plotted) trilogy of A Dirge for Prester John.
Who is Prester John? His detailed enough description can be read in the Wikipedia entry about him.

My expectation before reading this book had been high, because the authoress is none other than Catherynne M. Valente herself. I’ve been enchanted by her adaptation of Russian folk tales, Deathless. So I expected to be captivated by The Habitation of the Blessed. Moreover, I am intrigued by the blurb which said, among other things ...’Hagia, the blemmye wife of Prester John...’ and ‘... the mythical land of Pentexore with its strange creatures...” I Googled blemmye immediately, found its description, and thought that maybe Valente doesn’t stick with that description. How wrong am I. 

But. My reading experience has been terrible. Oh, oh my. I feel very disturbed and repulsed and disgusted upon reading this book, from shortly after the beginning until its very end. By the part that makes me feel very queasy, I read it with skimming method. Well, I guess this book is not for everyone. 

Catherynne M. Valente as usual tells the story with beautiful prose that constructed by carefully chosen beautiful words. The narrative style is books within a book; storyteller that tells stories that have been read and hurriedly transcribed by another storyteller and has been told and written by at least three different storytellers.  

When did I start to feel queasy? At the beginning, when John was tried in his sailing on a vast sea of sand and forced to eat fish. Raw. With its internal organs - while their shape and constructing substance are different from those of the fish in our world - removed hurriedly and shabbily. Well, that can be expected from a man that had been threatened with death from famine and reduced to eat his robe. But still. Yuck.

When did I start to feel very queasy? When John had an intercourse.
With a crane. Crane, as in one specific specie of the Aves class, Grus antigone antigone. This makes me nauseous and disturbed. Why? Well, John was a priest who had taken a vow of celibacy. His breaking of the vow disgusted me. That feeling was exacerbated by the fact that he had broken it with a bird. With a frigging freaking bird. Please! The scene when the pygmies rutted with the cranes also disgusts me. 

Also I am repulsed by the fact that he, Prester John, married a blemmye, Hagia. And impregnated her. Eugh. Interspecies sex, as in between human and vampire or werewolf whatsoever doesn’t disturb me as long those who involved assumes same shapes. A man/ woman have sex with some entity that assumes the appearance of a beast - or a decapitated human, in blemmye case - doesn’t stand well with me. That’s why I felt disturbed when reading the stories in Greek mythology when Zeus seduced Leda in form of swan, or wooed Io in form of a beautiful white bull, and when Pasiphae attracted to a bull, their liaisons resulted in birth of monstrous half-man, half-bull of the Crete labyrinth, Minotaur. Maybe the interspecies sex in this book is an allegory to interracial marriage - which I don't mind nor oppose - but it just failed to depict that.

I am also unable to symphatise with the protagonist, Prester John. Well, maybe his character is typical of the missionaries in that age. He was thankless to those who had helped him, he was a man with holier-than-thou attitude, yet he was easily trapped in sin of adultery. I found it easier to symphatise with Hagia. 

The thing that horrifies me is although John saw his act of bringing Christianity as a good one - similar to one bringing a brightly burning candle to a dark land - it is actually a destructive action. It is more similar to the act of the Serpent tempted Eve to eat the forbidden fruit of knowledge and give it to Adam. Pentexore and its creatures had established a working system long before John, and Didymus Thomas (yes, he was there too, and also Alexander the Great), came. Each of them worshipped different gods and had different beliefs, yet it didn’t cause any friction amongst them. They didn’t have concept of sin, they lived harmoniously. With Christianity that John brought and tried to spread, they now knew the concept of sin. In Pentexore before Christianity, there was only a lamia with her natural instincts and urges. After Christianity, there was a whore lamia. That’s what Christianity did to Pentexore. It erased its carefree life, its innocence. 

And the thing that just makes me hate him even more? His cheating in Abir. The reason, said by the cheater himself, was to be the perfect entity, a king-priest, just like Christ. But, if that is the real intention, why did he pray so his queen will be Hagia? Heh. I believe that his motivation for cheating is not purely the king-priest perfection, but just a lesser, worldlier one – he wanted to rule, with a female he desired so, the blemmye Hagia.

One more thing that disappoints me is the way Valente describes Pentexore. She gave a map to give us a picture of Pentexore location, and that’s good and appreciated. But, I also want the map of the internal parts of Pentexore. I want the map that show where the Sea of Sand starts in the world we've known and ends in Pentexore, I want to see where we can reach it and its border with our world. Her description of the creatures is too general. She even doesn’t explain some creatures appearances, such as meta-collinara. I know that in the ‘original’ letter of Prester John those creatures’ names are mentioned, but when you read this book, you tend to forget what cametenna, tensevetes, etc. look like because there are so many strange creatures with names no less exotic than themselves. She also made some allusions and cameos (Alexander the Great with his gate and Apostle Thomas a.k.a. Didymus Thomas), but they are not deeply explored and felt like decoration only.

I can’t give it a high rate. Ten is the perfect score, and I will deduce some for each aspect that I loathe. Eating raw fish with its internal organs glistening? Eeuw. Minus one. A protagonist with attitude so bad I barely can stand him? Deduce one. A type of sex that repulsed me? Minus one again. The insufficient description of the creatures and Pentexore landscape (they should be more detailed, I think), minus one. So the end score is six.

I recommend this book for Valente’s hardcore fans. The Goodreads reviewers rated it 5 stars, and most of them are fans of Valente’s. One reviewer compared this book with In the Night Garden by the same authoress, so if you’re the fan of In the Night Garden, maybe this book will suit you. 

And finally, the picture.
A blemmye

Sources:

  • amazon.fr
  • en.wikipedia.org

Tuesday, 8 January 2013

A Red Herring Without Mustard

Seri/ Standalone? Buku ketiga dalam seri Flavia de Luce
Wujud buku: mass paperback
Dibeli di Periplus
Harga: Rp 17.500,00 (kalau tidak salah)

Ringkasan dari Amazon:

In the hamlet of Bishop’s Lacey, the insidiously clever and unflappable eleven-year-old sleuth Flavia de Luce had asked a Gypsy woman to tell her fortune—never expecting to later stumble across the poor soul, bludgeoned almost to death in the wee hours in her own caravan. Was this an act of retribution by those convinced that the soothsayer abducted a local child years ago? Certainly Flavia understands the bliss of settling scores; revenge is a delightful pastime when one has two odious older sisters. But how could this crime be connected to the missing baby? As the red herrings pile up, Flavia must sort through clues fishy and foul to untangle dark deeds and dangerous secrets.

Finally, ada buku yang saya sukai yang didiskon (biasanya yang dibanting murahrahrah itu selalu buku yang tidak diminati >.<)
Saya sukaaa sekali seri Flavia de Luce karangan Alan Bradley. Kenapa? Karena heroine-nya, Flavia Sabina de Luce, yang tidak biasa dan setting-nya (Inggris pasca PD II - mirip buku Agatha Christie). 

Flavia Sabina de Luce. Namanya keren banget, nama yang sangat anggun untuk anak umur 11 tahun dan pemiliknya juga bisa membawakan diri sesuai dengan namanya. Flavia adalah anak yang tidak biasa karena hobinya adalah melakukan eksperimen kimia. Dia juga hafal reaksi-reaksi yang diperlukan untuk mensintesis sesuatu. Buat kita itu pembawa stres, buat dia itu pelepas stres. Really, the most unusual heroine. Hal lain yang saya senangi dari dia adalah kemampuannya menyembunyikan emosi.

Saya membaca buku ini dengan urutan yang salah, buku pertama dalam seri ini (The Sweetness at the Bottom of The Pie) saya baca pertama kali dengan sepintas, lalu langsung loncat ke buku ketiga yang sedang saya review ini, dan baru buku kedua (The Weed That Strings the Hangman's Bag). Hal ini sedikit berpengaruh pada kenikmatan membaca.

Cerita ini menarik dibaca sampai akhir, tidak menggoda saya buat langsung lompat dan melihat konklusinya. Ada sedikit sentuhan gipsi, tapi hal itu hanya sepintas saja, tidak diperdalam. Saya semakin kesal pada kedua kakak Flavia, Ophelia dan Daphne, yang terus-terusan membully Flavia. Di dalam buku ini, lagi-lagi kita disuguhi kecerdikan Flavia dalam mengorek informasi.

Di buku ini juga ada lagi aspek tentang Harriet, almarhumah ibu Flavia, yang dipaparkan kepada pembaca. Sebenarnya saya sampai sekarang masih bingung. Ayah Flavia bernama Haviland de Luce. Tarquin de Luce yang sebelumnya tinggal di kediaman keluarga de Luce adalah paman Harriet. Kediaman itu juga resminya milik Harriet. Jadi ayah dan ibu Flavia masih famili? Sama-sama de Luce? 

Yah, intinya ini buku yang worth it. Saya tidak menyesali waktu dan dana yang terbuang untuk membeli dan membacanya. 

Rating akhir 7/10


The picture

Sumber (semuanya diakses 8 Januari 2013):
  • Gambar sampul: http://www.flaviadeluce.com/wpcms/wp-content/gallery/other/a-red-herring-without-mustard.jpg
  • Gambar bola kristal: http://www.xconomy.com/wordpress/wp-content/images/2008/11/crystal-ball.jpg




Saturday, 10 November 2012

Indulgence in Death

Judul: Indulgence in Death
Pengarang: J.D. Robb
Bahasa: Inggris
Tebal: 352 halaman
Format: paperback
Penerbit: Berkley
Seri/ standalone?: buku ke-31 dalam seri In Death
Harga: Rp30.000,00 (bekas)


Buku ke-31 dalam seri In Death ini seru >_<
Mengapa? Karena kasus pembunuhannya yang tidak biasa. Tidak biasa di mananya? Di metode pemilihan korban, karena korban sepertinya tidak memiliki kesamaan apapun. Begitulah.

Eve Dallas dan suaminya, Roarke, tetap menjadi satu tim yang solid. Dalam buku ini, pengarang seperti berusaha 'membela' Eve yang dikritisi karena pernikahannya dengan Roarke. Eh... Memang harus diakui kalau mereka jatuh cinta terlalu cepat dan terlalu mudah. Dalam kehidupan pernikahan juga Eve lebih banyak dibantu oleh Roarke. Eve itu lama-kelamaan jadi makin bergantung pada Roarke, sedangkan Roarke ya tetap Roarke. Kesannya, Eve memanfaatkan Roarke dan uangnya. Intinya, kalau Eve pergi Roarke tidak akan terlalu 'jatuh', sebaliknya dengan Eve. Pengarang berusaha menjelaskan bahwa Eve tidak pernah memanfaatkan Roarke dan hartanya. Eve mencintai Roarke apa adanya. Tetapi tetap saja harus diakui bahwa: 1.) Eve memang terasa memanfaatkan Roarke, harta, keterampilan, dan koneksinya dan 2.)Eve yang sekarang akan sangat kacau jika Roarke tidak ada, karena dia bergantung banyak pada suaminya itu. Tetapi. Eve tidak memanfaatkan dalam arti jelek seperti orang memanfaatkan orang lain yang habis manis sepah dibuang atau untuk keuntungannya sendiri. Eve itu meminta tolong, dan memang benar sih, kalau sumber daya yang ada tidak dimanfaatkan, kan sia-sia.

Dalam buku ini, kita diajak melihat mentalitas orang kaya yang sudah 'kelenger'. Sudah ngawur. Saking ngawurnya, manusia yang tidak sederajat dengannya alias tidak berdarah biru dianggap tidak pantas untuk diperhatikan. Apa sih maksudnya berdarah biru di Amerika? Maksudnya adalah turunan 'old money', pewaris usaha yang sudah berjalan turun-temurun. Hal yang mereka rasakan dan praktikkan itu jelas salah. Sangat salah. Kita harus selalu menganggap manusia sebagai manusia, bukan benda, seperti yang dikatakan oleh Nanny Ogg atau Esme Weatherwax dalam salah satu buku Discworld. Saat kita berhenti melihat manusia sebagai orang, melainkan sebagai barang, saat itulah kita harus waspada. 

Aspek psikologis dirajut J.D. Robb dengan baik. Motif masuk akal. Mengapa terjawab dengan baik. Bagaimana juga terjelaskan dengan sempurna. No plotholes, dan itu membuat saya senang :)

Interaksi Eve dengan aide-nya yang setia, Peabody, selalu menyenangkan untuk dibaca, seperti biasa. Interaksi Eve dengan Roarke yang penuh ejekan sayang dan ungkapan sayang yang eksplisit juga OK. Tapi ungkapan sayang atau ekspresi yang dipakai pengarang kadang-kadang terlalu romantis. Euh. Euh. Saya lebih suka baca saat mereka lagi lempar ejekan deh. 

Saya juga jadi mengerti bahwa tidak semua orang yang sama-sama berasal dari keluarga old money sama. Ada yang gila seperti yang tadi saya bahas. Ada yang menganggap housekeeper-nya sebagai saudara. Pada akhirnya, semua bergantung pada pribadi masing-masing. Terkadang, sifat orang tidak bisa diprediksi dari latar belakang dan didikannya.

Satu hal yang Eve - dan pada akhirnya, saya - pahami adalah pernikahan, atau hubungan romantis antar dua orang itu berbeda-beda. Ada aspek yang workable dalam satu hubungan yang tidak workable pada pasangan lain. Contoh ekstrim adalah pernikahan antara Louise DiMatto (dokter, old money sehingga berdarah biru) dengan Charles Monroe (mantan licensed companion). Eve yang awalnya selalu bingung bagaimana Louise dapat menerima profesi masa lalu Charles, akhirnya mengerti bahwa satu hal yang bisa menghancurkan satu pernikahan adakalanya dapat ditanggung oleh pernikahan lainnya. Saya kurang bisa menjelaskannya. Intinya, hal itu terangkum dalam kutipan ini

"A marriage is a private thing. It has its own wild laws, and secret histories, and savage acts, and what passes between married people is incomprehensible to outsiders." - Marya Morevna, Deathless 

Kita layak meluangkan sedikit waktu untuk membaca buku ini. 7/10 :)

And here is the relevant picture


Sumber gambar:
http://diesel-ebooks-cdn.make-a-store.com/mas_assets/image_cache/2/d/e/e/500x500_3010104_file.jpeg
http://storiesbywilliams.files.wordpress.com/2012/06/m9_bayonet.jpg